Rabu, 21 November 2007

MAHASISWA MANA AKSI MU?

Oleh : Heri Maulana

(Ketua BEM FIP UNY/Wakil Sekretaris Jenderal Wilayah Jawa

Ikatan Mahasiswa Keguruan dan Ilmu Pendidikan Seluruh Indonesia/IMAKIPSI)

“Siapa yang hidup hanya bagi dirinya, akan hidup sebagai manusia kecil dan mati sebagai manusia kecil. Sedangkan manusia besar adalah mereka yang hidup bagi orang lain, hidup sebagai manusia besar dan takkan mati selamanya”

Sebuah catatan di atas yang dikutip dari buku Arsitek Peradaban karya Anis Matta mampu mengingatkan kita pada kondisi kampus sekarang dan bahkan dimasa mendatang. Pertambahan jumlah mahasiswa membuktikan bahwa bangsa ini tidak akan kekurangan persediaan kaum-kaum intelektual, pembangunan sarana dan prasarana kampus sudah cukup menunjukkan keseriusan bangsa ini untuk melayani kaum-kaum intelektual itu. Namun di tengah gemerlap pembangunan dan gedung-gedung yang serba canggih dan megah ternyata sedikit mengaburkan pandangan terhadap kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan. Ribuan mahasiswa yang menjejali gedung mewah itu hampir tidak terlihat mana yang menjadi mahasiswa-mahasiswa BESAR. Mungkinkah gemerlap dan virus 3 F (Fun Foods Fashion) sudah menjadi identitas mahasiswa?

Kampus sudah menjadi tempat tumbuh suburnya berbagai macam pola hidup, tidak hanya ilmu pengetahuan dan teknologi bahkan gaya hidup sudah menjadi bagian didalamnya. Sayangnya, bukan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang dengan pesat, tetapi gaya hiduplah yang lebih subur di kalangan intelektual. Di satu sisi, mahasiswa plus atau mahasiswa yang aktif di berbagai organisasi selalu dikatakan kaum yang idealis, di sisi lainnya mahasiswa yang hanya kuliah dan kuliah dikatakan individualis dan opportunis. Semua label yang diberikan ini tidak lain hanya sikap putus asa yang ditunjukkan oleh sebagian pihak yang pada kenyataannya tidak berbuat apa-apa.

Mahasiswa merupakan sebuah potensi besar yang menentukan tinggi rendahnya, maju mundurnya, dan beradab atau tidaknya suatu bangsa. Tingkat ketersediaan lulusan sarjana menjadi tolak ukur kemajuan sebuah negara, maka tidak heran bila negara-negara maju berjuang keras untuk memaksimalkan potensi yang bernama mahasiswa. Banyak kalangan yang memberikan pandangan yang beragam terhadap sosok mahasiswa, seperti Edward Shill mengelompokkan mahasiswa sebagai lapisan intelektual yang memiliki tanggung jawab sosial yang khas. Shill menunjukkan lima fungsi kaum intelektual yaitu mencipta dan menyebar kebudayaan tinggi, menyediakan bagan-bagan nasional dan antar bangsa, membina keberdayaan dan bersama, mempengaruhi perubahan sosial dan memainkan peran politik. Sementara itu Samuel Huntington menyimpulkan bahwa kaum intelektual di perkotaan merupakan bagian yang mendorong perubahan politik yang disebut reformasi seperti yang dialami oleh bangsa Indonesia beberapa kurun tahun belakangan ini.

Peran besar yang diambil oleh mahasiswa dalam reformasi ini dapat dibandingkan dengan kesimpulan Arbi Sanit (pengamat politik nasional) yang membagi empat hal/faktor pendorong bagi peningkatan peranan mahasiswa dalam kehidupan politik. Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai horison yang luas diantara masyarakat. Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama menduduki bangku sekolah, sampai di universitas mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik yang terpanjang diantara angkatan muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup yang unik di kalangan mahasiswa. Di universitas, mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah, suku, bahasa dan agama terjalin dalam kegiatan kampus sehari-hari. Keempat, mahasiswa sebagai kelompok yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur perekonomian dan prestise dalam masyarakat dengan sendirinya merupakan elit di dalam kalangan angkatan muda.

Sama halnya dengan Arbi Sanit, Dr. Ali Syari’ati juga memiliki pandangan yang khas terhadap mahasiswa yaitu sosok yang menjadi orang yang tercerahkan (dapat menyatu dengan masyarakat menghilangkan gap intelek non intelek). Dr Ali Syari’ati menyatakan bahwa seorang intelektual haruslah mampu mengkomunikasikan ide dan keintelektualannya kepada masyarakat, yang dengan itu ia lebih mudah membangun masyarakatnya. Beliau menyebut mereka dengan sebutan orang-orang yang tercerahkan.

Orang-orang yang tercerahkan itu adalah orang yang sadar akan ‘keadaan kemanusiaan’ (human condition) di masanya, serta setting kesejarahannya dan kemasyarakatnnya. Kesadaran semacam ini dengan sendirinya akan memberikan rasa tanggung jawab sosial. Jika kebetulan ia termasuk kalangan terpelajar, maka ia akan lebih berpengaruh; dan jika tidak, maka kurang pula pengaruhnya. Mereka bertujuan untuk memberikan kepada ummatnya sebuah keyakinan bersama yang dinamis yang membantu mereka untuk mencapai kesadaran diri dan merumuskan cita-cita mereka. Dengan demikian maka intelektual adalah bukan sekelompok elit seperti menara gading yang bercerita dan berangan-angan tentang sebuah peradaban namun gagal mentransformasikan hal itu ke tengah masyarakat program-program yang realistis.

Pandangan inilah yang cukup menegaskan betapa pentingnya peran mahasiswa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hal inilah yang melatarbelakangi pentingnya seluruh elemen mahasiswa untuk dapat berpartisipasi dalam pesta demokrasi kampus yaitu Pemilihan Umum Mahasiswa (PEMILWA) yang kurang lebih sama dengan fungsi-fungsi yang diketengahkan oleh beberapa tokoh di atas. PEMILWA sebagai media pergantian kepemimpinan organisasi tingkat mahasiswa ini sudah saatnya diorientasikan kembali sebagai jembatan penghubung antara idealisme yang selama ini menjadi sorotan publik dengan pencapaian-pencapaian strategis yang lebih mengakar dan memberikan kontribusi nyata kepada masyarakat kampus dan masyarakat luas. Tentunya PEMILWA yang menghabis dana yang tidak sedikit perlu diwacanakan secara lantang bahwa proses regenerasi inilah yang merupakan semangat untuk selalu hidup berprestasi dan tidak meninggalkan generasi yang lemah.

Momen tahunan ini menjadi pembuktian seberapa besarkah perhatian dan semangat mahasiswa dalam berperan membangun semangat perubahan ke arah yang lebih baik di kampus, seberapa pedulikah mahasiswa dengan peran moral force kepada pihak birokrasi dan lingkungan kampus, seberapa besarkah keinginan mahasiswa untuk mengembalikan pendidikan sebagai pintu gerbang perbaikan nasib bangsa dan negara, dan seberapa luaskah keikhlasan yang dimiliki oleh mahasiswa untuk senantiasa menjunjung tinggi semangat untuk berprestasi sehingga kita mampu membongkar tuduhan bahwa mahasiswa adalah sosok yang terlalu idealis tetapi tidak realistis.

PEMILWA menjadi pintu gerbang pembuktian apakah kita menjadi mahasiswa kecil yang hidup hanya untuk diri sendiri, atau memutuskan untuk menjadi manusia besar yang hidup untuk orang lain, hidup menjadi sebagai manusia besar dan takkan mati selamanya. Sekaranglah waktunya untuk membuktikan kalau mahasiswa yang selalu mengatakan mahasiswa aktivis adalah mahasiswa sok idealis benar-benar memiliki peran dalam perjuangan dan perubahan.

Kamis, 15 November 2007

MEMBANGUN KEPEKAAN SOSIAL (KECERDASAN EMOSIONAL) MELALUI INTERAKSI SEKOLAH INKLUSI

Oleh: HERI MAULANA

(Transformator Pendidikan)

UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab III ayat 5, menyebutkan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Hal ini dapat diartikan semua orang berhak memperoleh pendidikan yan layak sama dan tanpa diskriminasi, termasuk warga negara yang memiliki kesulitan belajar seperti kesulitan membaca (disleksia), menulis (disgrafia) dan menghitung (diskalkulia) maupun penyandang ketunaan (tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, dan tunalaras). Dengan demikian, tidak ada lagi pemisahan atau perbedaan pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi warga negara Indonesia yang memiliki kelainan dan atau kesulitan belajar.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa memungkinkan terwujudnya kebebasan dalam memperoleh pendidikan. Salah satu yang dihasilkan adalah internet, internet menghasilkan program pendidikan tanpa batas dan dapat dinikmati oleh siapa saja di seluruh dunia. Sama halnya dengan perkembangan dalam dunia pendidikan. Dahulu kita mengenal pendidikan khusus bagi anak yang memiliki “kebutuhan khusus” dalam belajar, mereka dibedakan dan “terbatasi” dengan dunia luar dan sosial. Bertahun-tahun mereka hanya dapat melihat dan menyimpulkan dalam hati, “ternyata dunia begitu sempit dan duniaku terpisah jauh dari yang lainnya”. Secara kebutuhan memang pendidikan khusus dapat memberikan perhatian dan pendekatan pendidikan yang tepat dan fokus, tetapi bagaimana dengan kondisi emosional bagi anak berkesulitan belajar (kebutuhan khusus)? Ternyata mereka juga memiliki perasaan untuk diperhatikan dan dipandang sama dengan anak-anak yang normal.

Pada perkembangannya, diperkenalkanlah program pendidikan yang tidak lagi memisahkan antara anak yang berkebutuhan khusus dengan anak yang normal, program ini lebih dikenal dengan pendidikan terpadu atau inklusi, program pendidikan ini merupakan bentuk pelayanan dan bantuan yang diberikan kepada anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus di sekolah umum (mengikutsertakan anak-anak berkebutuhan khusus/cacat untuk belajar bersama-sama dengan anak-anak normal sebayanya di sekolah umum), yang pada akhirnya mereka menjadi bagian dari masyarakat sekolah itu, sehingga tercipta suasana pembelajaran yang kondusif (Rogers dan Moore dalam Sunardi :1997). Hal ini sejalan dengan Surat Keputusan (SK) Mendikbud Nomor: 002/U/1986 Pasal 1 ayat 1 yang menyatakan bahwa pendidikan terpadu ialah model penyelenggaraan program pendidikan bagi anak cacat yang diselenggarakan bersama-sama anak normal di lembaga pendidikan umum dengan menggunakan kurikulum yang berlaku di lembaga pendidikan yang bersangkutan.

Menurut Dr. Euis Karwati, MPd., Kasubdis PLB Diknas Provinsi Jawa Barat, pada awalnya banyak perdebatan yang timbul dimasyarakat terhadap implementasi pendidikan inklusi, namun pada akhirnya program ini dapat diterima ditengah masyarakat dan Jawa Barat berhasil menjadi provinsi yang terbaik dalam penyelenggaraan program pendidikan inklusi. Selain itu kita juga mengetahui bahwa sudah banyak anak yang berkebutuhan khusus yang sukses dan memiliki banyak prestasi, Sebagaimana yang dicontohkan oleh Amstrong (1997) bahwa banyak penyandang tunarungu memiliki prestasi tingkat nasional maupun internasional seperti: Samuel Jhonson, Thomas Alva Edison, Granvill Redmond, Marlee Matlin, Ludwig Van Beethoven, dan Helen Keller. Selain itu mereka yang memiliki kekurangan dapat berprestasi dalam dunia olahraga/ olympiade dan banyak menjadi motivator dan inspirasi bagi para pengusaha sukses, pemimpin dan orang-orang normal lainnya.

Banyak hal yang sudah dibuktikan oleh mereka yang selama ini terpisah dan dipisahkan dari kehidupan normal. Keberadaan mereka di dalam pendidikan normal dan sekolah formal sudah seharusnya menjadi sumber baik untuk belajar maupun membangun solidaritas/ kepekaan sosial yang selama ini telah memudar dikalangan terpelajar. Pendidikan yang selama ini hanya berorientasi pada aspek kognitif/ intelegensi sudah seharusnya memperhatikan ranah-ranah yang lainnya, salah satunya adalah aspek emosional (EQ). Kita pahami bahwa sistem pendidikan di USA suah memasukkan aspek EQ sebanyak 80% dalm proses pembelajaran dan di Jepang hanya 10 % IQ dan 90% memasukkan unsur EQ. Kemudian apa yang telah dihasilkan oleh kedua negara besar tersebut sekarang, kemajuan dan kekuatan di segala bidang.

Hal ini seharusnya juga sudah diperhatikan oleh masyarakat dan pemerintah kita, dengan segala permasalahan yang kita alami, mulai dari permasalahan moral, kompetensi, kompetisi, dan harga diri. Sama halnya dengan keberadaan anak yang berkebutuhan khusus dan program pendidikan inklus. Besar harapan agar anak berkebutuhan khusus akan memiliki rasa percaya diri. Sebaliknya, anak-anak normal dan teman sekolahnya akan terdidik dan belajar hidup bertoleransi antarsesama manusia.